SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT DI DAERAH SEKITAR INDUSTRI
DALAM PERSPEKTIF HETEROGENITAS MASYARAKAT KOTA
Pembangunan industri yang pada awalnya ditujukan untuk mendorong kemajuan perekonomian, berpengaruh secara sosial terhadap perkembangan masyarakat. Salah satu akibat terpenting dari timbulnya industrialisme adalah terbentuknya komunitas-komunitas baru atau perubahan serta pertumbuhan yang cepat dari komunitas yang sudah ada. Jika pada masa lalu industri ditempatkan di luar kota dekat dengan sumber bahan mentah dan sumber tenaga, pada perkembangan selanjutnya tidak demikian. Industri ditempatkan pada suatu daerah yang di sekitarnya sudah terdapat sebuah komunitas, misalnya daerah perkotaan.
Penempatan industripun tidak lagi harus mendekati bahan mentah, namun
lebih mempertimbangkan ketersediaan lahan dan lingkungan yang memadai. Dengan ketersediaan sarana transportasi, bahan mentah yang dibutuhkan dapat didatangkan dari sumbernya ke tempat industri pengolahan berada. Dengan situasi demikian, industri dengan cepat membangun komunitas di sekitarnya. Jadi ada hubungan antara industri dengan komunitas yang bisa disebabkan oleh kebutuhan industri terhadap persediaan tenaga kerja, komunitas menjadi pasar yang besar bagi produk industri tersebut, serta industri yang membutuhkan komunitas sebagai sumber jasa khusus.
lebih mempertimbangkan ketersediaan lahan dan lingkungan yang memadai. Dengan ketersediaan sarana transportasi, bahan mentah yang dibutuhkan dapat didatangkan dari sumbernya ke tempat industri pengolahan berada. Dengan situasi demikian, industri dengan cepat membangun komunitas di sekitarnya. Jadi ada hubungan antara industri dengan komunitas yang bisa disebabkan oleh kebutuhan industri terhadap persediaan tenaga kerja, komunitas menjadi pasar yang besar bagi produk industri tersebut, serta industri yang membutuhkan komunitas sebagai sumber jasa khusus.
Kehadiran para pekerja pendatang, secara relatif menyebabkan perubahan pola interaksi komunitas. Interaksi antar anggota komunitas menjadi semakin luas dan proses interaksi dalam komunitas akan terpengaruh oleh adanya keragaman latar belakang sosial budaya dari anggotanya. Pada proses interaksi, jaringan interaksi anggota komunitas yang meluas menyebabkan intensitas interaksi antar anggota berkurang, terutama pada sebagian anggota komunitas seperti pendatang yang memiliki solidaritas yang rendah.
Komunitas yang ada di sekitar industri, baik yang pada awalnya adalah komunitas pedesaan maupun komunitas yang diciptakan setelah adanya industri mengembangkan satu karakteristik tertentu yang sesuai dengan kebutuhan industry. Hal ini terjadi karena industri memiliki daya pengaruh yang besar terhadap komunitas untuk menimbulkan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Sebuah komunitas yang mendapat pengaruh dari adanya industri akan berkembang ke arah suatu komunitas perkotaan yang memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan sebelum industri didirikan dan hal ini akan menimbulkan keragaman pada masyarakat kota bersangkutan.
Secara harfiah heterogenitas berasal dari kata heterogen, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta berarti serbaneka, berlainan macam, tidak sejenis, terdiri dari berbagai macam unsur. Masyarakat dan keanekaragamannya merupakan suatu fenomena yang selalu ada dalam kehidupan. Karena pada dasarnya masyarakat terbentuk yang disebabkan oleh adanya perbedaan, sementara perbedaan sendiri menjadikan kehidupan dalam masyarakat menjadi lebih berwarna.
Heterogenitas itu sendiri terklasifikasi menjadi dua jenis, yakni heterogenitas masyarakat berdasrkan profesi atau pekerjaan, dan heterogenitas berdasar jenis kelamin. Masyarakat Indonesia yang besar ini memiliki suatu keberagaman yang telah disebutkan di atas, namun pada makalah ini akan mengulas mengenai batasan masyarakat perkotaan yang penduduknya terdiri dari berbagai profesi. Karena tiap pekerjaan memerlukan tuntutan profesionalisme agar dapat dikatakan berhasil, untuk itu diperlukan penguasaan ilmu dan melatih keterampilan yang berkaitan dengan setiap pekerjaan. Seperti halnya ketika di kawasan perkotaan dibangun industri-industri baru yang akan memberikan pengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja.
Kebutuhan industri terhadap tenaga kerja yang memadai tidak sepenuhnya dapat terpenuhi oleh komunitas yang telah ada, sebab industri membutuhkan tenaga kerja yang memiliki karakteristik tertentu. Para tenaga kerja berdatangan ke wilayah tersebut untuk mencoba memanfaatkan berbagai kesempatan, baik di sektor industri maupun sektor lainnya. Tenaga kerja yang masuk berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang sosial budaya yang beragam. Kehadiran para pekerja pendatang berimplikasi pada berubahnya pola interaksi komunitas karena menjadi semakin luas dan proses tersebut menyebabkan intensitas interaksi antar anggota menjadi berkurang, terutama seperti pendatang yang memiliki sosiabilitas rendah. Dinamika pada komunitas di sekitar industri dalam jangka panjang akan mengembangkan komunitas penduduk pendatang dan pribumi menjadi berbeda dengan bentuk komunitas sebelumnya.
Urbanisme pada komunitas di sekitar industri sebagai sebuah gejala yang rasional karena dorongan dari industrialisme dan juga sebagai hasil dari proses adaptasi mayarakat terhadap tuntutan aktivitas kerja dalam industri. Industrialisme membutuhkan tenaga kerja yang bergerak terus dalam arti tidak stagnan dalam satu tempat saja. Sifat tersebut tidak dapat diperoleh dalam masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang ketat karena ikatan sosial yang ketat akan mengganggu mobilitas warga masyarakatnaya. Sedangkan ikatan sosial yang longgar akan mempengaruhi bentuk solidaritas sosial masyarakatnya, misal dalam masyarakat kawasan perkotaan.
Emile Durkheim (1994:181) menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antar individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Di sini juga menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok serta mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat, yang wujud nyatanya adalah lahirnya pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka satu sama lain. Menurut Durkeim pula , solidaritas dapat dibedakan menjadi solidaritas positif yang mengikat individu pada masyarakat secara langsung serta merupakan fungsi yang berbeda dan khusus yang menyatukan hubungan tetap dan solidaritas negatif yang tidak menghasilkan integrasi apapun, dengan demikian tidak memiliki kekhususan. Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa masyarakat berkembang dari sederhana menuju modern dan salah satu komponen yang menjadi pusat perhatian dalam memperhatikan perkembangannya adalah solidaritas sosialnya.
Masyarakat sederhana mengembangkan solidaritas mekanik. Maksudnya masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama perbuatan moral. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar kewajiban yang tumbuh dari dalam diri, melainkan juga kebaikan ketika diri telah dihadapkan dalam kehidupan sosial.
Sedangkan masyarakat modern mengembangkan solidaritas organik yang notabene semakin terdiferensiasi dalam kompleksitas pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala pembagian kerja sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai sosial yang bersifat umum. Menurutnya perkembangan tersebut tidak menimbulkan adanya disintegrasi dalam masyarakat, melainkan dasar integrasi sosial yang sedang mengalami perubahan ke satu bentuk solidaritas baru. Bentuk ini benar-benar didasarkan pada saling ketergantungan di antara bagian-bagian yang menjadi terspesialisasi.
Heterogenitas yang semakin beragam ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya. Peningkatan terjadi secara bertahap, saling ketergantungan profesional antar berbagai bagian masyarakat yang heterogen itu mengakibatkan terjadi suatu pergeseran dalam tata perilaku masyarakat, sehingga menimbulkan kesadaran individu baru. Bukan pembagian kerja yang mendahului kebangkitan individu, melainkan sebaliknya perubahan dalam diri individu di bawah pengaruh proses sosial mengakibatkan pembagian kerja semakin terdifensiasi.
Kesadaran baru yang mendasari masyarakat kota yang dapat dikategorikan masyarakat modern ini lebih berpangkal pada individu yang di sini mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, sehingga hal ini menjadi rentan terhadap timbulnya alienasi atau asing dengan diri sendiri. Karena corak kesadaran kolektif bersifat abstrak dan universal, mereka menbentuk solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil yang dapat bersifat mekanik.
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian awal bahwa masyarakat yang berada di sekitar industri ditempatkan mengalami perkembangan ke arah masyarakat industri kota. Komunitas industri kota memiliki stuktur dan fungsi yang khas. Dibandingkan dengan kondisi komunitas sebelumnya industri didirikan, komunitas industri kota ditandai dengan banyak perbedaan. Perbedaan ini ditimbulkan oleh adanya kesempatan dan kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu.
Selanjutnya kompleksitas dalam stuktur sosial mengakibatkan peran-peran yang harus dilakukan oleh setiap individu menjadi serba relatif, tergantung pada status yang disandangnya. Maka dari itu dalam komunitas industri kota terdapat banyak sekali peran. Status peran yang dimiliki menjadikan setiap individu sebagai instrumen dalam keseluruhan proses sosial masyarakat, karena peran dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dialami secara individual.
Peran-peran dalam masyarakat industri kota seringkali dibedakan dengan tegas. Menurut Max Weber dalam Sosiologi Klasik dan Modern (1986:142), hal ini mengindikasikan adanya alienasi yang merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan bukan sebagai alat bagi manusia untuk mengembangkan atau menyatakan kemampuannya yang kreatif. Individu merasa dirinya tidak mampu untuk mengembangkan diri, dalam pengertian yang luas, melalui kegiatan produktifnya. Permasalahan yang muncul kemudian adalah orang-orang yang saling mengadakan kontak hanya bila mereka memainkan peran tertentu. Hubungan sosial bersifat bersegmen-segmen dan tidak melibatkan seluruh kepribadian seperti halnya dalam komunitas tradisional. Kontak sosial dalam komunitas kota seringkali berdasarkan kemanfaatan atau keuntungan, daripada berdasarkan status. Orang-orang berinteraksi untuk tujuan pribadi yang kerapkali merupakan pengeksploitasian. Namun sebagai komunitas yang sedang berkembang, pada sebagian komunitas dalam masyarakat industri kota masih terdapat kontak sosial yang tidak sepenuhnya dalam rangka pemanfaatan pihak lain, walaupun orientasi material sudah mulai nampak dalam kontak sosial tersebut.
Karena peran-peran saling dipisahkan dan tidak dalam waktu bersamaan, maka kesatu paduan masyarakat industri kota menjadi lemah semangat kebersamaan, loyalitas pada komunitas, dan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama menjadi melemah. Semangat menjadi tercurahkan individu untuk untuk merasa lebih loyal pada keluarganya, kepada peusahaannya, atau pada kelompoknya. Dalam mengembangkan loyalitasnya, individu mulai membatasi pada lingkungan yang terbatas yang menurut pertimbangan sebenarnya dapat mendukung dalam pemenuhan berbagai kebutuhannya. Dalam situasi demikian, loyalitas dan solidaritas lebih banyak diarahkan kepada lingkungan yang menurut perasaannya lebih dekat sehingga kesatu paduan ini lebih cenderung terdapat dalam kelompoknya, seperti di antara sesama pendatang walaupun berbeda latar belakang sosial budayanya.
Menurut Schneider (1993:444), situasi yang terjadi pada masyarakat kota yang ditandai dengan adanya pembedaan orang secara tegas berdasar teknologi, kekuasaan, dan kepemilikan, serta tidak ada sistem nilai bersama merupakan situasi yang secara alamiah berkembang sesuai dengan kebutuhan dari komunitas industri kota. Dalam kehidupan sosialpun masyarakat tersebut pada dasarnya sudah mengembangkan suatu sistem nilai yang cocok untuk kehidupannya. Dalam segala kemungkinannya banyak anggotanya yang benar-benar diurbanisasikan dalam nilai-nilai kebiasaan dan sikap mereka. Proses ini bukan sebuah tahap yang secara sengaja dipaksakan terhadap anggota komunitas, namun proses yang berjalan dengan sendirinya dalam upaya menyesuaikan diri dengan perubahan yang sedang terjadi pada lingkungan. Sehingga untuk menyikapinyapun dibutuhkan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat, untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dalam kehidupan masyarakat kota yang mengarah pada gejala alienasi berkesinambungan.
Kebutuhan industri terhadap tenaga kerja yang memadai tidak sepenuhnya dapat terpenuhi oleh masyarakat yang sudah ada, sebab industri membutuhkan tenaga kerja yang memiliki karakteristik tertentu seperti keterampilan pendidikannya, termasuk juga perilaku dengan etos kerja tinggi. Kebutuhan tenaga kerja ini merupakan salah satu daya tarik industri, selain dari munculnya kesempatan ekonomi lain akibat keberadaan industri yang dijadikan sumber penghasilan bagi masyarakat, para tenaga kerja berdatangan ke wilayah tersebut untuk memanfaatkan sektor lainnya. Hali ini semakin memperbesar jumlah penduduk, khususnya penduduk usia kerja.
Tenaga kerja yang masuk berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang sosial budaya yang beragam yang mengindikasiakn adanya keheterogenitasan masyarakat industri. Terbukanya mobilitas sosial ini berdamapak pada masyarakat kota yang semakin kompleks. Dalam komunitas ini peranan dipisah-pisah dan hubungan sosial bersifat impersonal sehingga tiap individu akan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan timbul gejala alienasi dalam masyarakat industri tersebut.
Menghadapi adanya fenomena berubahnya pola interaksi komunitas industri ke arah solidaritas yang bersifat organik sebagai dampak dari industrialisasi seyogyanya mendapat perhatian lebih, baik dari masyarakat yang bersangkutan maupun pemerintah yang berwenang. Bentuk konkrit dari upaya untuk sedikit mengembalikan rasa kebersamaan atau rasa solidaritas sosial masrarakat industri tersebut dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, misalnya dengan pemfasilitasan dari pemilik modal untuk mengadakan acara hajatan ketika industri yang dijalankan mendapat keuntungan lebih, atau adanya komando untuk melakukan gotong royong membersihkan asrama secara berkala, yang diharapkan dengan acara serupa dapat sedikit memberi ruang bagi para pekerja untuk sekedar bercengkerama dengan pegawai lainnya yang bukan hanya didasari oleh kepentingan pekerjaan.
Referensi:
Hardati, Puji, Harnanik, Slamet Sumarto, Elly Kismini, Abdul Muntolib. 2007. Pengantar Ilmu Sosial. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Mansyur, M. Ch. Tanpa Tahun. Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional.
Parker, S. R., dkk. 1985. Sosiologi Industri. Jakarta: Rineka Cipta.
Salmi, Jamil. 2005. Violence and Democratic Society, Hooliganisme dan Masyarakat Demokrasi. Washington, D. C.: Pilar Media.
Schneider, E. V. 1993. Sosiologi Industri. Jakarta: Akasara Persada Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar